BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Setiap individu membutuhkan pemenuhan kebutuhan akan aktualisasi dirinya,
dimana salah satu aktualisasi diri itu meliputi kebutuhan untuk bekerja. Dalam
melakukan suatu pekerjaan dengan maksimal, individu perlu memiliki suatu
kepuasan kerja agar bisa melaksanakan tanggungjawabnya dengan maksimal dalam
pekerjaannya itu. Kepuasaan kerja merupakan hal yang bersifat
individual. Setiap individu mempunyai tingkat kepuasan yang berbeda-beda, dalam
arti bahwa kepuasan kerja bukanlah suatu konsep tunggal, sebaliknya seseorang
dapat relatif puas dengan suatu aspek dari pekerjaannya dan bisa juga tidak
puas dengan salah satu atau beberapa aspek lainnya.
Kepuasan
kerja adalah suatu perasaan yang menyokong atau tidak menyokong diri pegawai
yang berhubungan dengan pekerjaannya maupun dengan kondisi dirinya. Perasaan
yang berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspek-aspek seperti upah atau gaji
yang diterima, kesempatan pengembangan karir, hubungan dengan pegawai lainnya,
penempatan kerja, jenis pekerjaan, struktur organisasi perusahaan, mutu
pengawasan sedangkan perasaan yang berhubungan dengan dirinya . antara lain
umur, kondisi kesehatan, kemampuan, pendidikan. Pegawai akan merasa puas dalam
bekerja apabila aspek-aspek pekerjaan dan aspek-aspek dirinya menyokong dan
sebaliknya jika aspek-aspek tersebut tidak menyokong, pegawai akan merasa tidak
puas.
Dalam makalah ini kami akan membahas lebih jauh mengenai definisi
kepuasan kerja, teori-teori dari kepuasan kerja, dimensi
dari kepuasan kerja, cara mengukur tingkat kepuasan kerja,
faktor-faktor
yang menimbulkan kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja, cara
meningkatkan kepuasan kerja, cara mengungkapkan ketidakpuasan
kerja dan dampak kepuasan dan ketidakpuasan kerja.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
definisi kepuasan kerja?
2. Apa
saja teori-teori dari kepuasan kerja?
3. Bagaimana
dimensi dari kepuasan kerja?
4. Bagaimana
pengukuran terhadap kepuasan kerja?
5. Faktor-faktor
apa saja yang menimbulkan kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja?
6. Bagaimana
cara meningkatkan kepuasan kerja?
7. Bagaimana
cara mengungkapkan ketidakpuasan kerja?
8. Apa
dampak kepuasan dan ketidakpuasan kerja?
C.
Tujuan
1. Mendeskripsikan
definisi kepuasan kerja.
2. Menjelaskan
teori-teori dalam kepuasan kerja.
3. Memaparkan
dimensi kepuasan kerja.
4. Menjelaskan
pengukuran terhadapa kepuasan kerja.
5. Menjabarkan
faktor-fakto yang menimbulkan kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja.
6. Memaparkan
cara meningkatkan kepuasan kerja.
7. Menjabarkan
cara mengungkapkan ketidakpuasan kerja.
8. Menjelaskan
dampak kepuasan dan ketidakpuasan kerja.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Kepuasan Kerja
Ada beberapa definisi menurut para ahli
mengenai kepuasan kerja, yaitu :
a.
Cascio (2003), mendefenisikan kepuasan
kerja merupakan suatu perasaan yang menyenangkan, yang timbul sebagai akibat
dari persepsi karyawan, bahwa dengan menyelesaikan tugas atau dengan berusaha
untuk menyelesaikan pekerjaan memiliki nilai yang penting dalam pekerjaan tersebut.
b.
Cranny dkk (1992), mendefinisikan
kepuasan kerja sebagai reaksi afektif (emosional) terhadap pekerjaan yang
dihasilkan dari perbandingan yang dilakukan karyawan antara hasil atau imbalan
aktual yang diterima dengan apa yang diinginkan atau diharapkan karyawan.
c.
Gibson, dkk (1996) mendefinisikan
kepuasan kerja sebagai seperangkat perasaan karyawan tentang menyenangkan atau
tidaknya pekerjaan mereka. Kepuasan kerja juga merupakan perasaan senang atau
tidak senang yang relatif berbeda dari pemikiran objektif dan keinginan
perilaku.
d.
Weiss dkk (1967) mengemukakan secara
lengkap aspek yang berhubungan dengan kepuasan kerja seseorang, antara lain
aktivitas, kemandirian, variasi, nilai-nilai moral, pelayanan sosial,
pemanfaatan kemampuan, kemahiran, tanggung jawab, kreativitas, pengakuan,
prestasi, status sosial, hubungan dengan atasan, kemampuan teknik atasan,
keamanan, otoritas, kebijaksanaan perusahaan, kompensasi, kondisi kerja, dan
rekan kerja (dalam Berry, 1998).
e.
Robbins (1998) mengemukakan kepuasan
kerja sebagai sikap secara umum dan tingkat perasaan positif seseorang terhadap
pekerjaannya, sedangkan Greenberg dan Baron (2000) mendefinisikan kepuasan
kerja sebagai sikap positif atau negatif yang dimiliki seseorang terhadap
pekerjaannya.
f.
Menurut Spector (1997) kepuasan kerja
merupakan sikap yang merefleksikan bagaimana perasaan seseorang terhadap
pekerjaannya secara keseluruhan maupun terhadap berbagai aspek dari
pekerjaannya. Ini berarti kepuasan kerja adalah seberapa jauh seseorang
menyukai atau tidak menyukai pekerjaannya dan berkaitan dengan berbagai aspek
dalam pekerjaan seperti rekan kerja, gaji, karakteristik pekerjaan, maupun
atasan.
Berdasarkan definisi-definisi kepusan kerja yang
dikemukakan di atas oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan
keadaan internal pekerja mengenai rasa suka (sikap positif) atau tidak suka
(sikap negatif) pada sebagian atau seluruh aspek pekerjaan. Aspek pekerjaan
tersebut antara lain adalah aktivitas, kemandirian, variasi, nilai-nilai moral,
pelayanan sosial, pemanfaatan kemampuan, kemahiran, tanggung jawab,
kreativitas, pengakuan, prestasi, status sosial, hubungan dengan atasan,
kemampuan teknik atasan, keamanan,
otoritas, kebijaksanaan perusahaan, kompensasi, kondisi kerja, dan rekan kerja.
Kepuasan kerja masing-masing orang adalah berbeda, tergantung pada individu itu
sendiri, namun pada dasarnya kepuasan kerja bisa terjadi jika kemampuan dan apa
yang dilakukan oleh individu sesuai dengan tuntutan kerjanya.
2.2 Teori-Teori Dalam Kepuasan Kerja
Secara umum terdapat empat teori utama yang
menjadikan kepuasan kerja sebagai fokus utamanya, antara lain adalah :
a.
Teori Dua Faktor Herzberg (Herzberg Two Factor Theory).
Teori pertama
tentang kepuasan kerja adalah teori dua faktor dari Herzberg. Herzberg menjadikan
hirarki kebutuhan Maslow sebagai dasar untuk mengembangkan teorinya. Herzberg
menemukan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kepuasan dan ketidakpuasan kerja
berbeda. Herzberg (dalam Kreitner dan Kinicki, 1992) mengemukakan teori
kebutuhan yang disebutnya sebagai Teori Dua Faktor, karena meyakini bahwa
faktor yang berhubungan dengan kerja dapat dibagi dua yaitu motivator dan
higiene. Faktor higiene merupakan semua elemen kerja yang berhubungan dengan job context atau sebagai konsekuensi
dari kerja itu sendiri. Contoh faktor higiene adalah penghasilan, rekan kerja,
kondisi kerja, kebijaksanaan dan administrasi perusahaan, dan pengawasan.
Motivator merupakan elemen yang berhubungan dengan job content atau tugas dan kewajiban dari pekerjaan yang dilakukan.
Tanggung jawab, rangsangan atau stimulus kerja, pertumbuhan, pengakuan,
kemajuan, dan prestasi kerja adalah sebagai motivator.
b.
Teori Faset (Facet Theory).
Teori faset dari Lawler tahun 1973 (dalam Berry
1998) memperluas teori sebelumnya ke dalam perspektif yang lebih kompleks
mengenai kepuasan kerja. Model faset meramalkan kepuasan kerja dengan
faset-faset pekerjaan yang berbeda. Lawler dalam analisisnya menggunakan
hipotesis kesenjangan dan teori keadilan. Menurut Lawler tingkatan kepuasan
terhadap faset kerja ditentukan oleh perbandingan antara pengharapan dari yang
seharusnya diterima dari faset-faset pekerjaan dan persepsi dari apa yang telah
diterima. Kepuasan dihasilkan ketika jumlah yang diterima sama dengan yang
diharapkan. Ketidakpuasan dihasilkan ketika individu mendapatkan kurang dari
apa yang diharapkan. Lawler menjelaskan bahwa ukuran kesenjangan ini akan
menentukan jumlah ketidakpuasan. Ketidakpuasan kerja terjadi ketika individu
menerima 1) input individu terlalu tinggi terhadap pekerjaannya, 2) pekerjaan
menjadi tuntutan, 3) tingkatan hasil yang diterima rendah, 4) rekan-rekan
sekerja memiliki input dan output yang lebih seimbang, 5) rekan sekerja
memiliki hasil aktual yang lebih baik.
c.
Teori Proses Informasi Sosial (The Social Information Process Theory).
Teori proses
informasi sosial diajukan pertama kali oleh Salancik dan Pfeffer tahun 1977.
Pandangan ini berpendapat bahwa kepuasan mirip atau sebanding dengan sikap (attitute) tidak terkait pada fungsi
dalam segi-segi objektif dari lingkungan kerja, tetapi berkembang sebagai
sebuah respon terhadap isyarat-isyarat sosial yang terdapat di dalam lingkungan
kerja (dalam Cooper, 1986). Para psikolog sosial menunjukkan bahwa sikap
terjadi dalam kontek sosial dan telah tergambar dalam kelompok. Salancik dan
Pfeffer (1977) berpendapat bahwa pengaruh sosial merupakan determinan penting
pada kepuasan kerja. Kedua tokoh ini menyatakan bahwa orang tidak dapat membuat
bermacam-macam perbandingan untuk semua aspek perbedaan dalam pekerjaan,
seperti yang telah diajukan oleh para penganut teori ketidaksesuaian (discrepancy theory). Sebaliknya, mereka
mengambil suatu pemikiran pintas. Orang melihat secara sederhana bagaimana
pekerjaan-pekerjaan bentuk lain dapat dirasakan. Persepsi tentang pekerjaan
yang orang lain lakukan akan mempengaruhi persepsi kita sendiri. Kita menyukai
pekerjaan karena kita melihat orang lain menyukai pekerjaan itu. Yaitu ketika
seseorang kelihatan menyukai pekerjaannya, kemudian kita ikut menyukainya juga
(dalam Berry, 1998).
d.
Teori Proses Berlawanan dari Landy (Landy’s Opponent Process Theory)
Landy tahun 1977 mengajukan suatu teori proses
berlawanan atau Opponent Process Theory.
Teori ini menyatakan bahwa penyimpangan atau deviasi perilaku dari kenetralan (hedonic neutrality) berjalan bersama
dengan suatu usaha-usaha meniadakan deviasi tersebut. Usaha untuk mengembalikan
kedudukan netral ini disebut sebagai keadaan proses berlawanan atau opponent process. Landy meneliti bahwa
kepuasan terhadap pekerjaan dapat berubah sesuai waktu, walaupun pekerjaan itu
sendiri tidak pernah berubah. Kebanyakan dari kita memiliki pengalaman ketika
tidak lagi suka mengerjakan sesuatu walaupun dahulunya menyukainya. Tetapi
kelamaan ketika individu tidak diijinkan lagi mengerjakan, ia merasa
kehilangan. Menurut Landy dengan teorinya, hal ini terjadi akibat adanya
mekanisme internal bagi pengaturan tingkat emosi yang netral. Itu karena kita
berusaha mempermainkan emosi kita naik turun (dalam Berry, 1998). Dalam penjelasan
tentang hal ini, Landy menggunakan konsep keseimbangan yang tergambar pada neurophysiology (fisiologi saraf) dan
dari teori proses berlawanan dari perilaku psikologikal (Solomon dan Corbit,
1973). Proses penyeimbangan ini berkebalikan jika mendapat tindakan lain. Landy
mengatakan bahwa kepuasan kerja sebagai suatu pernyataan emosional subjek untuk
suatu keterlibatan secara fisik. Keseimbangan emosi adalah suatu sikap netral
yang dipengaruhi oleh sebuah proses berkebalikan sebagai serangan balik atas
respon emosional terhadap sebuah pekerjaan. Ia mengajukan pendapat bahwa kedua
operasi berkebalikan yang berbeda dapat terjadi ketika 1) adanya respon emosi
yang tiba-tiba, dan 2) sebagai reaksi kemudian atas berbagai respon emosional
terhadap pekerjaan yang terjadi.
Dari beberapa teori kepuasan kerja yang telah
dibahas, dapat disimpulkan kepuasan kerja dihasilkan dari interaksi antara
karyawan dan lingkungan kerja. Interaksi ini bisa berupa sikap yang berkembang
terhadap fungsi objektif dari pekerjaan ataupun sikap terhadap isyarat- isyarat
sosial yang terdapat di dalam lingkungan kerja. Sikap terhadap fungsi objektif
dari pekerjaan ditunjukan oleh kesesuaian tuntutan perusahaan dan harapan atau
kebutuhan karyawan, sedangkan sikap terhadap isyarat sosial yang terdapat
dilingkungan kerja merupakan persepsi dan respon emosional terhadap suatu
pekerjaan.
2.3 Dimensi Kepuasan Kerja
Luthans (1992) membagi
dimensi-dimensi pekerjaan yang berhubungan dengan kepuasan kerja yaitu imbalan,
pekerjaan itu sendiri, promosi, supervisi, kelompok kerja dan kondisi kerja. Gilmer
(1984) menyatakan bahwa ada sepuluh dimensi yang berpengaruh terhadap kepuasan
kerja yakni keamanan, kesempatan untuk maju, perusahaan dan manajemen, gaji,
aspek intrinsik dari pekerjaan, supervisi, aspek sosial dari pekerjaan,
komunikasi, kondisi kerja, dan benefit. Locke dalam Dunnette (1983) membagi
tujuh dimensi kerja yang merupakan pengembangan Locke sebelumnya dan mempunyai
kontribusi terhadap kepuasan kerja, yaitu:
a. Pekerjaan, termasuk minat
intrinsik, variasi tugas, kesempatan belajar, kesulitan kerja, jumlah kerja,
kesempatan untuk berhasil, kontrol terhadap langkah-langkah pekerjaan dan
metode pekerjaan.
b. Pembayaran, termasuk jumlah
pembayaran, keadilan pembayaran, serta cara pembayarannya.
c. Promosi termasuk keadilan mendapatkan promosi dan
kesempatan mendapat promosi.
d. Pengakuan termasuk penghargaan
terhadap prestasi, kepercayaan atas tugas yang diberikan serta kritik atas
tugas yang dikerjakan.
e. Benefit termasuk memperoleh
pensiun, mendapat kesehatan, adanya cuti tahunan dan adanya pembayaran pada
saat liburan.
f. Kondisi kerja termasuk jam
kerja, jam istirahat, peralatan kerja, temperatur di tempat kerja, ventilasi,
kelembaban, lokasi serta tata ruang kerja.
g. Supervisi termasuk gaya dan
pengaruh supervisi, hubungan manusia dan keterampilan administratif.
h. Rekan kerja termasuk kompetensi, saling membantu,
dan keramahan antar rekan kerja.
i. Perusahaan dan manajemen
termasuk kebijakan akan perhatian terhadap pekerja baik untuk pembayaran
ataupun benefit-benefit.
Sedangkan Model Theory of Work Adjustment mengukur 20
dimensi yang menjelaskan 20 kebutuhan elemen atau kondisi penguat spesifik yang
penting dalam menciptakan kepuasan kerja. Dimensi-dimensi tersebut dijelaskan
sebagai berikut:
a. Ability
Utilization adalah pemanfaatan kecakapan yang dimiliki oleh karyawan.
b.Achievement
adalah prestasi yang dicapai selama bekerja.
c. Activity adalah
segala macam bentuk aktivitas yang dilakukan dalam bekerja.
d. Advancement
adalah kemajuan atau perkembangan yang dicapai selama bekerja.
e. Authority
adalah wewenang yang dimiliki dalam melakukan pekerjaan.
f. Company
Policies and Practices adalah kebijakan yang dilakukan adil bagi karyawan.
g. Compensation adalah segala macam bentuk kompensasi yang diberikan
kepada para karyawan.
h. Co-workers
adalah rekan sekerja yang terlibat langsung dalam pekerjaan.
i. Creativity
adalah kreatifitas yang dapat dilakukan dalam melakukan pekerjaan.
j. Independence
adalah kemandirian yang dimiliki karyawan dalam bekerja.
k. Moral values adalah nilai-nilai moral yang dimiliki karyawan dalam
melakukan pekerjaannya seperti rasa bersalah atau terpaksa.
l. Recognition
adalah pengakuan atas pekerjaan yang dilakukan.
m. Responsibility,
tanggung jawab yang diemban dan dimiliki.
n. Security,
rasa aman yang dirasakan karyawan terhadap lingkungan kerjanya.
o. Social
Service adalah perasaan sosial karyawan terhadap lingkungan kerjanya.
p. Social
Status adalah derajat sosial dan harga diri yang dirasakan akibat dari
pekerjaan.
q. Supervision-Human Relations
adalah dukungan yang diberikan oleh badan usaha terhadap pekerjanya.
r. Supervision-Technical adalah bimbingan dan bantuan teknis yang
diberikan atasan kepada karyawan.
s. Variety
adalah variasi yang dapat dilakukan karyawan dalam melakukan pekerjaannya.
t. Working
Conditions, keadaan tempat kerja dimana karyawan melakukan pekerjaannya.
Dari
kesamaan pendapat para ahli yang telah dijelaskan diatas, terlihat ada tujuh
dimensi yang sama dipergunakan para ahli tersebut dalam mengungkap dimensi
kepuasan kerja yaitu pekerjaan itu sendiri, promosi, gaji, supervisi, rekan
kerja, kondisi kerja, serta perusahaan dan manajemen.
2.4 Pengukuran Terhadap Kepuasan Kerja
Beberapa
instrumen yang dapat digunakan sebagai Pengukuran kepuasan kerja secara umum
menggunakan instrumen kuesioner, sering pula disebut sebagai penelitian tentang
sikap terhadap kerja. Terdapat beberapa keuntungan dalam menggunakan instrumen
yang telah distandarisasi, yaitu tingkat valitidas dan reliabilitas yang
mencukupi karena penyusunannya melalui proses penelitian ilmiah (Berry, 1998).
Tiga instrumen kepuasan kerja yang sering dipakai antara lain:
a.
The Minnesota Satisfaction Questionnaire
(MSQ). Kuesioner pengukuran kepuasan kerja yang pertama adalah The Minnesota Satisfaction Questionnaire
(MSQ), yang disusun oleh Weiss dkk tahun 1967. MSQ mengukur dua puluh aspek
kepuasan kerja dan merupakan pengukuran yang populer. Keduapuluh aspek tersebut
antara lain adalah aktivitas, kemandirian, variasi, nilai-nilai moral,
pelayanan sosial, pemanfaatan kemampuan, kemahiran, tanggung jawab,
kreativitas, pengakuan, prestasi, status sosial, hubungan dengan atasan,
kemampuan teknik atasan, keamanan, otoritas, kebijaksanaan perusahaan,
kompensasi, kondisi kerja, dan rekan kerja. MSQ menggunakan pengukuran skala
Linkert 5 poin yang bergerak dari tingkat sangat tidak memuaskan sampai dengan
sangat memuaskan (dalam Berry, 1998).
b.
Job Description Indek (JDI). Ada lima
fase dalam JDI, yaitu kepuasan terhadap pekerjaan, imbalan, promosi, atasan,
dan rekan kerja. Pengukuran ini memperlihatkan validitas dalam kaitannya dengan
pengukuran lain tentang kepuasan kerja dan menunjukkan reliabilitas yang baik
(Schneider dan Dachler dalam Berry, 1986). Penggunaan yang cukup luas
menimbulkan norma-norma bagi kelompok-kelompok yang berbeda dalam kaitanya
dengan usia, jenis kelamin, dan pendidikan responden. Subskala dikumpulkan
secara bersama-sama membangun sebuah pengukuran yang menimbulkan pertanyaan
tentang sebuah sikap yang terjadi pada pekerjaan, pengawasan, upah, rekan
kerja, kesempatan untuk promosi dan pekerjaan tersebut secara umum.
c.
The Job Diagnostic Survey (JDS).
Hackmen dan Oldham (1975) menyususun The
Job Diagnostic Survey (JDS) yang melihat dampak dari karakteristik
pekerjaan terhadap karyawan. Pengukuran kepuasan kerja menggunakan JDS
menghasilkan kepuasan kerja secara global sekaligus kepuasan kerja faset. JDS
memiliki empat fase, yaitu perkembangan gaji, keamanan, sosial, dan atasan. Alat
ukur tidak terlepas dari masalah. Oleh karena itu diperlukan pertimbangan dalam
penggunaan skala-skala pengukuran. Locke (dalam Berry, 1998) mengemukakan bahwa
semua penelitian mengasumsikan bahwa responden memiliki kesadaran diri yang
baik, namun tidak semua responden selalu menyadari perasaan mereka. Hal ini
perlu diatasi dengan pemberian instruksi yang efektif dalam penyampaian,
sehingga dapat dipahami oleh responden serta mampu menimbulkan kesadaran diri
responden. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan landasan teori berupa
dimensi kepuasan kerja sebagai kerangka dalam menyusun instrumen kepuasan
kerja.
2.5 Faktor-faktor yang Menimbulkan
Kepuasan Kerja Dan Ketidakpuasan Kerja
Menurut Baron
& Byrne (1994) ada dua kelompok faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja.
Faktor pertama yaitu faktor organisasi yang berisi kebijaksanaan perusahaan dan
iklim kerja. Faktor kedua yaitu faktor individual atau karakteristik karyawan.
Pada faktor individual ada dua prediktor penting terhadap kepuasan kerja yaitu
status dan senioritas. Status kerja yang rendah dan pekerjaan yang rutin akan
banyak kemungkinan mendorong karyawan untuk mencari pekerjaan lain, hal itu
berarti dua faktor tersebut dapat menyebabkan ketidakpuasan kerja dan karyawan
yang memiliki ketertarikan dan tantangan kerja akan lebih merasa puas dengan
hasil kerjanya apabila mereka dapat menyelesaikan dengan maksimal.
Pendekatan
Wexley dan Yukl (1977) berpendapat bahwa pekerjaan yang terbaik bagi
penelitian-penelitian tentang kepuasan kerja adalah dengan memperhatikan baik
faktor pekerjaan maupun faktor individunya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kepuasan kerja yaitu gaji, kondisi kerja, mutu pengawasan, teman sekerja, jenis
pekerjaan, keamanan kerja dan kesempatan untuk maju serta faktor individu yang
berpengaruh adalah kebutuhan-kebutuhan yang dimilikinya,nilai-nilai yang dianut
dan sifat-sifat kepribadian.
Ghiselli dan Brown mengemukakan
adanya lima faktor yang menimbulkan kepuasan kerja, yaitu:
a.
Kedudukan (posisi). Umumnya manusia beranggapan bahwa seseorang yang bekerja
pada pekerjaan yang lebih tinggi akan merasa lebih puas daripada karyawan yang
bekerja pada pekerjaan yang lebih rendah. Pada beberapa penelitian menunjukkan
bahwa hal tersebut tidak selalu benar, tetapi justru perubahan dalam tingkat
pekerjaanlah yang mempengaruhi kepuasan kerja.
b.
Pangkat (golongan). Pada pekerjaan yang mendasarkan perbedaan tingkat
(golongan), sehingga pekerjaan tersebut memberikan kedudukan tertentu pada
orang yang melakukannya. Apabila ada kenaikan upah, maka sedikit banyaknya akan
dianggap sebagai kenaikan pangkat, dan kebanggaan terhadap kedudukan yang baru
itu akan merubah perilaku dan perasaannya.
c.
Umur. Dinyatakan bahwa ada hubungan antara kepuasan kerja dengan umur karyawan.
Umur di antara 25 tahun sampai 34 tahun dan umur 40 sampai 45 tahun adalah
merupakan umur-umur yang bisa menimbulkan perasaan kurang puas terhadap
pekerjaan.
d. Jaminan finansial dan jaminan
sosial
Masalah finansial dan jaminan
sosial kebanyakan berpengaruh terhadap kepuasan kerja.
e. Mutu pengawasan. Hubungan antara karyawan dengan
pihak pimpinan sangat penting artinya dalam menaikkan produktifitas kerja.
Kepuasan karyawan dapat ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan yang baik
dari pimpinan kepada bawahan, sehingga karyawan akan merasa bahwa dirinya
merupakan bagian yang penting dari organisasi kerja (sense of belonging).
Sedangkan
Faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja menurut Blum (1956) sebagai
berikut :
a.
Faktor individual, meliputi umur, kesehatan,
watak dan harapan.
b.
Faktor sosial, meliputi hubungan
kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berkreasi, kegiatan perserikatan
pekerja, kebebasan berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan.
c.
Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi
upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju.
Selain itu juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial di dalam
pekerjaan, ketepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan
diperlakukan adil baik yang menyangkut pribadi maupun tugas.
Penelitian yang
dilakukan oleh Caugemi dan Claypool (1978) menemukan bahwa hal-hal yang
menyebabkan ketidakpuasan adalah:
a. Kebijaksanaan
perusahaan
b. Supervisor
c. Kondisi
kerja
d. Gaji
Harold
E. Burt, mengemukakan pendapat tentang faktor-faktor yang ikut menentukan
kepuasan kerja sebagai berikut :
a. Faktor hubungan antar karyawan
b. Faktor-faktor
Individual
c. Faktor-faktor
luar
Pendapat
Gilmer (1966) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja sebagai
berikut :
a. Kesempatan
untuk maju
b. Keamanan
kerja
c. Gaji
d. Perusahaan
dan manajemen
e. Pengawasan
(Supervisi)
f. Faktor
intrinsik dari pekerjaan
g. Kondisi
kerja
h. Aspek
sosial dalam pekerjaan
i.
Komunikasi
j.
Fasilitas
Setiap individu
akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai
yang berlaku pada dirinya. Hal ini disebabkan adanya perbedaan persepsi pada
masing-masing individu. Semakin banyak aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan
keinginan individu tersebut maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang
dirasakannya. Oleh karenanya sumber kepuasan seorang karyawan secara subyektif
menentukan bagaimana pekerjaan yang dilakukan memuaskan. Meskipun untuk batasan
kepuasan kerja ini belum ada keseragaman tetapi yang jelas dapat dikatakan
bahwa tidak ada prinsip-prinsip ketetapan kepuasan kerja yang mengikat dari
padanya.
2.6 Cara Meningkatkan Kepuasan Kerja
Beberapa cara untuk meningkatkan kepuasan kerja
adalah :
a. Produktivitas
yang tinggi menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja, hanya jika tenaga
kerja mempersepsikan bahwa ganjaran instrinsik dan ganjaran ekstrinsik yang
diterima kedua-duanya adil dan wajar dan diasosiasikan dengan unjuk kerja yang
unggul.
b. Prestasi
kerja yang dihasilkan oleh pegawai, prestasi kerja yang baik akan mengakibatkan
pemerolehan penghargaan lebih tinggi. Bila penghargaan tersebut dirasakan adil
dan memadai, maka kepuasan kerja pegawai akan meningkat karena mereka menerima
penghargaan dalam proporsi yang sesuai dengan prestasi kerja mereka.
2.7 Cara Mengungkapkan Ketidakpuasan
Kerja
Beberapa cara untuk mengungkapkan ketidakpuasan
kerja adalah :
a. Keluar
(Exit): Ketidakpuasan kerja yang
diungkapkan dengan meninggalkan pekerjaan, termasuk mencari pekerjaan lain.
b. Menyuarakan
(Voice): Ketidakpuasan kerja yang
diungkap melalui usaha aktif dan konstruktif untuk memperbaiki kondisi termasuk
memberikan saran perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasannya.
c. Mengabaikan
(Neglect): Kepuasan kerja yang
diungkapkan melalui sikap membiarkan keadaan menjadi lebih buruk, termasuk
misalnya sering absen atau dating terlambat, upaya berkurang, kesalahan yang
dibuat makin banyak.
d. Kesetiaan
(Loyalty): Ketidakpuasan kerja yang
diungkapkan dengan menunggu secara pasif sampai kondisinya menjadi lebih baik,
termasuk membela perusahaan terhadap kritik dari luar dan percaya bahwa
organisasi dan manajemen akan melakukan hal yang tepat untuk memperbaiki
kondisi.
e. Kesehatan.
Meskipun jelas bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan kesehatan, hubungan
kausalnya masih tidak jelas. Diduga bahwa kepuasan kerja menunjang tingkat dari
fungsi fisik mental dan kepuasan sendiri merupakan tanda dari kesehatan.
Tingkat dari kepuasan kerja dan kesehatan mungkin saling mengukuhkan sehingga
peningkatan dari yang satu dapat meningkatkan yang lain dan sebaliknya
penurunan yang satu mempunyai akibat yang negatif.
2.8 Dampak Kepuasan dan Ketidakpuasan
Kerja
Beberapa
dampak dari kepuasan kerja adalah :
a. Produktifitas
dari karyawan akan semakin meningkat
b. Hubungan
interpersonal dan intrapersonal karyawan meningkat
c. Mampu
untuk memenuhi tuntutan dunia kerjanya.
Beberapa
dampak dari ketidak puasan kerja :
a. Produktifitas
atau kinerja (Unjuk Kerja)
Lawler
dan Porter mengharapkan produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan dari
kepuasan kerja hanya jika tenaga kerja mempersepsikan bahwa ganjaran instrinsik
dan ganjaran ekstrinsik yang diterima kedua-duanya adil dan wajar dan
diasosiasikan dengan unjuk kerja yang unggul. Jika tenaga kerja tidak
mempersepsikan ganjaran intrinsik dan ekstrinsik yang berasosiasi dengan unjuk
kerja, maka kenaikan dalam unjuk kerja tidak akan berkorelasi dengan kenaikan
dalam kepuasan kerja. Asad (2004).
b. Ketidakhadiran
dan Turn Over
Porter
& Steers mengatakan bahwa ketidakhadiran dan berhenti bekerja merupakan
jenis jawaban yang secara kualitatif berbeda. Ketidakhadiran lebih bersifat
spontan sifatnya dan dengan demikian kurang mungkin mencerminkan ketidakpuasan kerja.
dalam Asad (2004). Lain halnya dengan berhenti bekerja atau keluar dari
pekerjaan, lebih besar
kemungkinannya
berhubungan dengan ketidakpuaan kerja. Menurut Robbins (1996) ketidakpuasan
kerja pada tenaga kerja atau karyawan dapat diungkapkan ke dalam berbagai macam
cara. Misalnya, selain meninggalkan pekerjaan, karyawan dapat mengeluh,
membangkang, mencuri barang milik organisasi, menghindari sebagian dari
tanggung jawab pekerjaan mereka.
BAB 3
SIMPULAN
Kepuasan kerja merupakan
keadaan internal pekerja mengenai rasa suka (sikap positif) atau tidak suka
(sikap negatif) pada sebagian atau seluruh aspek pekerjaan. Aspek pekerjaan
tersebut antara lain adalah aktivitas, kemandirian, variasi, nilai-nilai moral,
pelayanan sosial, pemanfaatan kemampuan, kemahiran, tanggung jawab,
kreativitas, pengakuan, prestasi, status sosial, hubungan dengan atasan,
kemampuan teknik atasan, keamanan,
otoritas, kebijaksanaan perusahaan, kompensasi, kondisi kerja, dan rekan kerja.
Kepuasan kerja masing-masing orang adalah berbeda, tergantung pada individu itu
sendiri, namun pada dasarnya kepuasan kerja bisa terjadi jika kemampuan dan apa
yang dilakukan oleh individu sesuai dengan tuntutan kerjanya.
Empat teori utama yang menjadikan
kepuasan kerja sebagai fokus utamanya, antara lain adalah Teori Dua Faktor
Herzberg (Herzberg Two Factor Theory),
Teori Faset (Facet Theory, Teori
Proses Informasi Sosial (The Social
Information Process Theory) dan Teori Proses Berlawanan dari Landy (Landy’s Opponent Process Theory).
Locke dalam
Dunnette (1983) membagi tujuh dimensi kerja yang merupakan pengembangan Locke
sebelumnya dan mempunyai kontribusi terhadap kepuasan kerja, yaitu:a) Pekerjaan,
termasuk minat intrinsik, variasi tugas, kesempatan belajar, kesulitan kerja,
jumlah kerja, kesempatan untuk berhasil, kontrol terhadap langkah-langkah
pekerjaan dan metode pekerjaan. b) Pembayaran, termasuk jumlah pembayaran,
keadilan pembayaran, serta cara pembayarannya. c) Promosi termasuk keadilan
mendapatkan promosi dan kesempatan mendapat promosi. d) Pengakuan termasuk
penghargaan terhadap prestasi, kepercayaan atas tugas yang diberikan serta
kritik atas tugas yang dikerjakan. e) Benefit termasuk memperoleh pensiun,
mendapat kesehatan, adanya cuti tahunan dan adanya pembayaran pada saat
liburan. f) Kondisi kerja termasuk jam
kerja, jam istirahat, peralatan kerja, temperatur di tempat kerja, ventilasi,
kelembaban, lokasi serta tata ruang kerja. g) Supervisi termasuk gaya dan
pengaruh supervisi, hubungan manusia dan keterampilan administratif. h) Rekan
kerja termasuk kompetensi, saling membantu, dan keramahan antar rekan kerja. i)
Perusahaan dan manajemen termasuk kebijakan akan perhatian terhadap pekerja
baik untuk pembayaran ataupun benefit-benefit.
Tiga
instrumen kepuasan kerja yang sering dipakai antara lain: The Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ), Job Description Indek (JDI) dan The Job Diagnostic Survey (JDS).
Ghiselli dan Brown mengemukakan adanya lima faktor yang menimbulkan kepuasan
kerja, yaitu: Kedudukan (posisi), Pangkat (golongan), Umur, Jaminan finansial
dan jaminan sosial, Mutu pengawasan. Setiap individu akan memiliki tingkat
kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya.
Cara Meningkatkan Kepuasan Kerja dapat dilihat dari produktivitas yang tinggi dan
prestasi kerja yang dihasilkan oleh pegawai. Cara Mengungkapkan Ketidakpuasan kerja
meliputi Keluar (Exit), Menyuarakan
(Voice), Mengabaikan
(Neglect), Kesetiaan
(Loyalty) dan Kesehatan
DAFTAR
PUSTAKA
Gunadarma. 2009. Teori-teori
Kepuasan Kerja.http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/12/teori-teori-kepuasan-kerja-2/.
Diakses tanggal 15 Oktober 2012 pukul 18:30 WIB.
Handoko, T. Hani. 2001. Manajemen
Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogjakarta: BPFE .
Kreitner, Robert & Kinicki.,
Anggelo. 2005. Perilaku Organisasi. Jakarta : Salemba Empat.
Mangkunegara, Anwar Prabu. 2005.
Evaluasi Kinerja SDM. Bandung : Refika Aditama.
Psikologizone. 2011. Teori
Herzberg dan Kepuasan Kerja. http://www.psikologizone.com/teori-herzberg-dan-kepuasan-kerja-karyawan. Diakses tanggal 15 Oktober pukul 18 :35
WIB.